BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
Nama dinasti
Abbasiyah diambilkan dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW. yang
bernama al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih
berhak dari pada Bani Umayyah atas kekhalifahan islam,sebab mereka adalah dari
cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi Muhammad
SAW
Dinasti
Abbasiyah yang memerintah setelah dinasti Umayyah adalah dinasti terlama dalam
sejarah peradapan Islam sekitar lebih dari 5 abad dan juga dinasti yang
mengantarkan Islam pada masa Golden Age.
Namun demikian, tidaklah dapt di pungkiri bahwa pemerintahan Abbasiyah
merupakan pemerintahan yang kompleks sekompleks permasalahan yang melandanya.
Permasalahan yang yang di maksud adalah terjadinya kudeta, pemberontakan,
bahkan dinasti-dinasti baru. Awalnya, Abbasiyah merupakan pemimpin tunggal di
daerah Asia.
1.
Bagaimana sejarah
berdirinya Bani Abbasiyah ?
2.
Seperti apa masa kekuasaan
Bani Abbasiyah ?
3.
Apa saja yang diperoleh
pada masa kejayaan Bani Abbasiyah ?
4.
Apa faktor-faktor yang
menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah
?
5.
Bagaimana akhir masa
kekuasaan Bani Abbasiyah ?
1. Menjelaskan bagaimana berdirinya Bani Abbasiyah, sehingga
berhasil menguasai ke khalifahan yang sebelumnya di pegang oleh Bani Umayyah.
2. Mendeskripsikan masa kekuasaan Bani Abbasiyah dalam megelola
pemerintahan.
3. Mendeskripsikan kemajuan-kemajuan yang diperoleh saat Bani
Abbasiyah memengang ke khalifahan, baik itu dibidang ekonomi, politik, dan ilmu
pengetahuan.
4. Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab kemunduran Bani
Abbasiayah.
5. Menjelaskan bagaimana akhir dari masa kekuasaan Bani Abbasiayah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekhalifahan bani
Abbasiyah merupakan kelanjutan dari kekhalifahan bani Umayyah, diman pendiri
bani Abbasiyah adalah keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad SAW yaitu
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola
pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.
Ketika dinasti Umayyah
berkuasa bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan. Bani Abbas telah
mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan
toleransi pada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh
saudara-saudara dari Bani abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad
serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum
melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal dalam
penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan
gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas,
setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh bani Umayyah, termasuk khalifah
Marwan II yang sedang berkuasa.
Orang-orang Abbasiyah,
sebut saja bani Abbas merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah keturunan bani Hasyim yang secara nasab
keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka,orang-orang Umayyah secara
paksa menguasai kekhalifahan melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu,
untuk mendirikan dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa
dalam bentuk pemberontakan terhadap bani Umayyah. Propaganda Abbasiyah
dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan
tetapi Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan
Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir yaitu Marwan bin
Muhammad. Ibrahim tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di
Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya yaitu Abul
Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu ia akan dibunuh dan
memerintahkan untuk pindah ke Kufah dan pemimpin propaganda dibebankan kepada
Abu Salamah.
Penguasa Umayyah di
Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke
Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan.
Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul abbas diperintahkan untuk mengejar
khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang
melarikan diri. Khalifah ini terus menerus melarikan diri hingga ke Fustat di
Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir wilayah Al-Fayyum, tahun 132 H/750 M di
bawah pimpinan Salih bin Ali, dengan demikian maka tumbanglah kekuasaan dinasti
Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah
pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shafah dengan pusat kekuasaan awalnya di
Kufah.[1]
Pergantian kekuasaan
dinasti Umayyah oleh dinasti bani Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan
darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang agama Islam, akan
tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang
dalam sejarah Islam.
Dalam sejarah
berdirinya Daulah Abbasiyah, menjelang akhir Daulah Amawiyah I, terjadi
bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1)
Penindasan yang terus menerus terhadap
pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2)
Merendahkan kaum muslimin yang bukan
bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3)
Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan
hak-hak asasi manusia dengan terang-terangan.
Oleh karena itu, logis
kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk
menumbangkan Daulah Amawiyyah. Gerakan ini menghimpun:
1.
Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu
Salamah.
2.
Keturunan Abbas (Abbasiyah)
pemimpinnya Ibrahim al-Iman.
3.
Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu
Muslim al-Khurasany.
Mereka memusatkan
kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H/750 M tumbanglah
daulah Amawiyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, Khalifah terakhir.
Dengan terbunuhnya Marwan mulailah berdiri daulah Abbasiyah dengan diangkatnya
khalifah pertama, Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah,
pada tahun (132-136 H/750-754 M).
Pada awalnya
kekhalifahan Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai pusat
pemerintahan, dengan Abu as-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama.
Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat
pemerintahan ke Baghdad. Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam
mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa daulah
Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan
menurut asal- usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami
tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk.[2]
B.
Masa
Kekuasaan Bani Abbasiyah.
Kekuasaan bani
Abbasiyah berlangsung dalam rentang
waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M).
Selam dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya.
Sebelum Abbul
Abbas Ash-Saffah meninggal, ia sudah mewasiatkan siapa penggantinya, yakni
saudaranya, Abu Ja’far, kemudian Isa bin Musa, keponakanya. Sistem pengumuman
putra mahkota itu mengikuti cara Dinasti Bani Umayyah. Dan satu hal yang baru
lagi bagi para Khalifah Abbsiyyah, yaitu pemakaian gelar. Abu ja’far misalnya,
memakai gelar Al Mansyur. Para Khalifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 Khalifah. Selama
dinasti Abbasiyyah berkuasa, pola pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik iti, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
bani Abbasiyyah dalam 4 periode berikut:
1. Masa
Abbasiyyah I, yaitu semenjak lahirnya daulah Abbasyyiah tahun 132H ( 750M )
sampai meninggalnya khaliah Al-Watsiq 232H (847M).
2. Masa
Abbasiyyah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232H (847M) sampai
berdirinya daulah Buwaihiyyah di bagdad pada tahun 334H (946M).
3. Masa
Abbasiyyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334H (946M)
sampai masuknya kaum Saljuk ke Bagdad tahun 447H (1055M).
4.
MASA
Abbasiyyah IV, yaitu masuknya orang orang saljuk ke Bagdad tahun 447H
(1055M) sampai jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan pada tahun 656H (1258M).
Dalam
versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode :
1)
Periode pertama (750–847 M)
Pada periode
pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis,
para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik
dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini
sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina
sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M).
Pada mulanya ibu
kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan
dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu
kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota
Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti
bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini
al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya.
Dia mengangkat
sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir
sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian
fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50
tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir
yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin
Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya,
menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut
persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia
itu.
Masuknya
keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara
Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah
al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd
al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jabatan pos
ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi
kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan
tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah
al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya
membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah
perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan
senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur
pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut
ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan
pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas
Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809
M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun
al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi
didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara
Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah
yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan
ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun,
pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu.
Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan
sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa
al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim,
Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya
persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya.
Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek
orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus
menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer
Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Dalam
periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik
dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan
sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya
dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat
sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya,
stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah
pengaruh kekuasaan yang lain.
2) Periode
kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan
kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode
pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung
mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan
anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan
rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional
asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih
kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada
di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang
didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun
setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah
Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang
Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut
kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih
dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan
Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha
untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari
dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan
wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan
paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan
sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan
diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan
masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun
faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini
adalah sebagai berikut:
a. Luasnya
wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi
lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa
dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan
profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c. Kesulitan
keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot,
Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3) Periode
ketiga (945 -1055 M)
Pada periode
ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah
lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran
Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani
Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan
negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz,
Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan
pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin
Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun
demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami
kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti
al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa.
Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini
juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih
berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara
Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4) Periode
keempat (1055-1199 M).
Periode ini
ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani
Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih
di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya
dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syi’ah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode
ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan
Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah
Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini
menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah
lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para
cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari,
penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam
bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar
Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan
juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi
beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing
propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi
tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di
antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik
Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut
berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5) Periode
kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya
kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal
dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri.
Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil.
Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di
Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang
Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang
berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru
dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan. Sebagaimana terlihat dalam
periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua.
Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara
tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena
Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para
menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
C.
Kemajuan
Peradaban Bani Abbassiyyah
Peradaban
dan kebudayaan islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaan pada masa
Abbassiyyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbassiyyah pada periode ini
lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan
wilayah. Puncak kejayaan dinasti Abbassiyyah terjadi pada masa khalifah Harun
Ar-Rasyid (786-809M) dan anaknya Al Ma’mun (813-833M). Ketika Ar Rasyid
memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin
walaupun ada juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara
hingga ke India. Pada masanya, hidup pula para Filsuf, pujangga, ahli baca Al
qur’an, dan para Ulama di bidang Agama didirikan perpustakaan yang di beri nama
Baitul Hikmah, di dalamnya orang
dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
v Bagdad
sebagai pusat peradaban islam.
Kota Bagdad
sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat aktifitas pengembangan ilmu
antara lain Baitul Hikmah. Sebagai ibu kota Bagdad mencapai puncaknya pada masa
Harun Ar-Rasyid walaupun kota tersebut belum 50 tahun di bangun. Kemegahan dan
kemakmurn tercermin dalam istana khalifah yang luasnya sepertiga dari kota
Bagdad yang berbentuk bundar dengan di lengkapi beberapa banguna sayap dan
ruang audiensi yang di penuhi berbagai perlengkapan yang terindah, dengan
demikian, dinasti Abbassiyyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai
pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam berbagai
bidang kehidupan dapat di sebutka beberapa berikut:
a) Bidang
agama
Kemajuan di bidang
agama antara lain dalambeberapa bidang ilmu yaitu ulumul qur’an, ilmu tafsir,
hadis, ilmu kalam, bahasa dan fiqih.
1. Fiqh
Pada
dinasti Abbasiyah lahir para tokoh bidang fiqh dan pendiri mazhab antara lain
sebagai berikut:
1) Imam
Abu Hanifah (700-767 M).
2) Imam
Malik (713-795 M).
3) Imam
Syafi’i (767-820 M).
4) Imam
Ahmad bin Hambal (780-855 M).
2. Ilmu
Tafsir
Perkembangan
ilmu tafsir pada masa pemerintahan Abbasiyah mengalami kemajuan pesat. Di
antara para ahli tafsir pada masa Dinasti Abbasiyah adalah:
1) Ibnu
Jarir Ath-Thabari.
2) Ibnu
Athiyah Al- Andalusi.
3) Abu
Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani.
3. Ilmu
Hadis
Diantara para ahli
hadis pada masa Dinasti Abbasiyah adalah:
1) Imam
Bukhori (194-256 H), karyanya Shahih Al-Bukhori.
2) Imam
Muslim (w. 261 H), karyanya Sahih Muslim.
3) Ibnu
Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.
4) Abu
Dawud, karyanya Sunan Abu Dawud.
5) Imam
An-Nasai, karyanya Sunan An-Nasai.
6) Imam
Baihaqi.
4. Ilmu
Kalam
Kajian
para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka,
serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, yang menghasilkan suatu kajian
ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah:
1) Imam
Abu Hasan Al- Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi, tokoh Asy’ariyah.
2) Washil
bin Atha, Abu Huzail Al-Allaf (w. 849 M), tokoh Mu’tazilah.
3) Al-Jubai.
5. Ilmu
Bahasa
Diantara ilmu bahasa
yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf,
ilmu bayan, ilmu badi’ dan arudh. Bahasa arab di jadikan sebagai ilmu
pengetahuan disamping menjadi alat komunikasi antar bangsa. Di antara para ahli
ilmu bahasa adalah:
1) Imam
Sibawaih (w. 183), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1000 halaman.
2) Al-Kiasi.
3) Abu
Zakaria Al-Farra (w.208), kitab Nahwunya terdiri dari 6000 halaman lebih.
b) Bidang
Umum
Dalam bidang
umum antara lain berkembang dalam bidang filsafat, logika, metafisika,
matematika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika, astronomi, musik,
kedokteran, kimia, sejarah dan sastra.
Para tokoh-tokohnya yang terkenal adalah sebagai berikut:
1) Ilmu
Filsafat
1. Al-Kindi
(809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2. Al
Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3. Ibnu
Bajah (wafat tahun 523 H).
4. Ibnu
Thufail (wafat tahun 581 H).
5. Ibnu
Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat,
Qoman, Saddiya dan lain-lain.
6. Al
Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh
Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain-lain.
7. Ibnu
Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillh dan
lain-lain
2) Bidang
Kedokteran
1. Jabir
bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
2. Hurain
bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai penterjemah bahasa asing.
3. Thabib
bin Qurra (836-901 M)
4. Ar
Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak
yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
3) Bidang
Matematika
1. Umar
Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2. Al
Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
4) Bidang
Astronomi
1. Al
Farazi : pencipta Astro lobe
2. Al
Gattani/Al Betagnius
3. Abul
wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4. Al
Farghoni atau Al Fragenius
5) Bidang
Seni Ukir
Beberapa
seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni
tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
c) Bidang
Ekonomi
1) Perdagangan
dan industri
Segala usaha di
tempuh untuk memajukan perdagangan dengan memudahkan jalan-jalanya, seperti di
bangun sumur dan tempat peristirahatan di jalan-jalan yang dilewati oleh
kafilah dagang, dibangun armada-armada dagang, dan di bangun armada-armada
untuk melindungi pantai negara dari serangan bajak laut. Serta membetuk suatu
badan khusus yang bertugas mengawasi pasaran dagang, mengatur ukuran timbangan,
menentukan harga pasaran (mengatur politik dagang) agar tidak terjadi
penyelewengan.
2) Pertanian
dan perkebunan
Kota-kota
administratif seperti Basrah, Khufah, Mosul, dan al-Wasit menjadi pusat
usaha-usaha pengembangn pertanian dan rawa-rawa di sekitar Kuffah di keringkan
dan di kembangkan menjadi kawasan pertanian
yang subur. Untuk menggarap daerah-daerah pertanian tersebut di
datangkanlah buruh tani dalam jumlah yang besar dari Afrika Timur guna
menciptakan ekonomi pertanian dan perkebunan yang intensif. Di samping itu
usaha untuk mendorong kaum tani agar lebih intensif di lahkukan beberapa
kebijakan antara lain:
Ø Memperlakuhkan
ahli zimmah dan nawaly dengan perlakuan yang baik dan adil, serta menjamin hak
milik dan jiwa mereka.
Ø Mengambil
tindakan yang keras terhadap pejabat yang berlaku kejam terhadap petani.
Ø Memperluas
daerah pertanian dan membangun kanal-kanal dan bendungan baik besar maupun
kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak ada irigasi.
3) Pendapatan
Negara
Selain dari
sektor perdagangan, pertanian, dan perindustrian, sumber pendapatan negara juga
berasal dari pajak. Pada masa Harun al-Rasyid, pemasukan pada sektor ini
mencapai 272 juta dirham dan 4,5 juta
dinar. Sementara pada masa
al-Mu’tashim, pajak yang berhasil terkumpul meningkat sebesar 314.271.350 dirham dan 5.102.00 dinar. Pendapatan juga berasal dari jizyah, zakat, ‘asyur al tijarah, dan kharaj.
4) Sistem
Moneter
Sebagai alat
tukar, para pelaku ekonomi menggunakan mata uang dinar (pedanag barat) dan
dirham (pedagang timur). Penggunann dua mata uang ini menurut Azumardi Azra,
memiliki dua konsekuensi. Pertama,
mata uang dinar harus di perkenalkan di wilayah-wilayah yang selama ini hanya
mengenal mata unag dirham. Kedua,
dengan mengeluarkan banyak mata uang emas, mengurangi penyimpanan emas
batangan atau perhiasan sekaligus
menjamin peredaran uang dengan kebutuhan pasar. Kebijakan di sektor ini adalah
di ciptaknya sistem pembayaran dengan sistem cek agar memepermudah para
kafilah-kailah dagang bertransaksi.
D.
Faktor-faktor
yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyyah
Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Adapun faktor internal, yaitu:
1) Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang persia. Persekutuan di latar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan pada masa bani Umayyah berkuasa (sama-sama tertindas). Pada masa ini persaingan antara bangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah di rasakan sejak awal khalifah Abbasiyah sendiri.
2) Kemerosotan ekonomi
Pada periode kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak, dan banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti.