Sunday, 11 May 2014

Bani Abbasiyah

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang.
Nama dinasti Abbasiyah diambilkan dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW. yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas kekhalifahan islam,sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi Muhammad SAW
Dinasti Abbasiyah yang memerintah setelah dinasti Umayyah adalah dinasti terlama dalam sejarah peradapan Islam sekitar lebih dari 5 abad dan juga dinasti yang mengantarkan Islam pada masa Golden Age. Namun demikian, tidaklah dapt di pungkiri bahwa pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kompleks sekompleks permasalahan yang melandanya. Permasalahan yang yang di maksud adalah terjadinya kudeta, pemberontakan, bahkan dinasti-dinasti baru. Awalnya, Abbasiyah merupakan pemimpin tunggal di daerah Asia.









B.     Rumusan masalah.
1.      Bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah ?
2.      Seperti apa masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?
3.      Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Bani Abbasiyah ?
4.      Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani  Abbasiyah ?
5.      Bagaimana akhir masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?

C.    Tujuan pembahasan.
1.      Menjelaskan bagaimana berdirinya Bani Abbasiyah, sehingga berhasil menguasai ke khalifahan yang sebelumnya di pegang oleh Bani Umayyah.
2.      Mendeskripsikan masa kekuasaan Bani Abbasiyah dalam megelola pemerintahan.
3.      Mendeskripsikan kemajuan-kemajuan yang diperoleh saat Bani Abbasiyah memengang ke khalifahan, baik itu dibidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan.
4.      Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiayah.
5.      Menjelaskan bagaimana akhir dari masa kekuasaan Bani Abbasiayah.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekhalifahan bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari kekhalifahan bani Umayyah, diman pendiri bani Abbasiyah adalah keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad SAW yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Ketika dinasti Umayyah berkuasa bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan. Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi pada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa.
Orang-orang Abbasiyah, sebut saja bani Abbas merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah keturunan bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka,orang-orang Umayyah secara paksa menguasai kekhalifahan melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa dalam bentuk pemberontakan terhadap bani Umayyah. Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Ibrahim tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya yaitu Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu ia akan dibunuh dan memerintahkan untuk pindah ke Kufah dan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah.
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri. Khalifah ini terus menerus melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir wilayah Al-Fayyum, tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salih bin Ali, dengan demikian maka tumbanglah kekuasaan dinasti Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shafah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.[1]
Pergantian kekuasaan dinasti Umayyah oleh dinasti bani Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang agama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Dalam sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah, menjelang akhir Daulah Amawiyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1)      Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2)      Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3)      Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan terang-terangan.
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Amawiyyah. Gerakan ini menghimpun:

1.      Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah.
2.      Keturunan Abbas  (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman.
3.      Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.

Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H/750 M tumbanglah daulah Amawiyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, Khalifah terakhir. Dengan terbunuhnya Marwan mulailah berdiri daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah pertama, Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun (132-136 H/750-754 M).
Pada awalnya kekhalifahan Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai  pusat pemerintahan, dengan Abu as-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal- usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk.[2]

B.     Masa Kekuasaan Bani Abbasiyah.
Kekuasaan bani Abbasiyah berlangsung  dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Selam dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang di terapkan  berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Sebelum Abbul Abbas Ash-Saffah meninggal, ia sudah mewasiatkan siapa penggantinya, yakni saudaranya, Abu Ja’far, kemudian Isa bin Musa, keponakanya. Sistem pengumuman putra mahkota itu mengikuti cara Dinasti Bani Umayyah. Dan satu hal yang baru lagi bagi para Khalifah Abbsiyyah, yaitu pemakaian gelar. Abu ja’far misalnya, memakai gelar Al Mansyur. Para Khalifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 Khalifah. Selama dinasti Abbasiyyah berkuasa, pola pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik iti, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan bani Abbasiyyah dalam 4 periode berikut:
1.      Masa Abbasiyyah I, yaitu semenjak lahirnya daulah Abbasyyiah tahun 132H ( 750M ) sampai meninggalnya khaliah Al-Watsiq 232H (847M).
2.      Masa Abbasiyyah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232H (847M) sampai berdirinya daulah Buwaihiyyah di bagdad pada tahun 334H (946M).
3.      Masa Abbasiyyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334H (946M) sampai masuknya kaum Saljuk ke Bagdad tahun 447H (1055M).
4.      MASA  Abbasiyyah IV, yaitu masuknya orang orang saljuk ke Bagdad tahun 447H (1055M) sampai jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656H (1258M).[3]

Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1)      Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M).

Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya.
Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu.
Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jabatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.

Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.[4] Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.                 Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2)      Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:
a.       Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b.      Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c.       Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

3)      Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4)      Periode keempat (1055-1199 M).
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5)      Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.[5]

C.    Kemajuan Peradaban Bani Abbassiyyah
Peradaban dan kebudayaan islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaan pada masa Abbassiyyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbassiyyah pada periode ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Puncak kejayaan dinasti Abbassiyyah terjadi pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809M) dan anaknya Al Ma’mun (813-833M). Ketika Ar Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India. Pada masanya, hidup pula para Filsuf, pujangga, ahli baca Al qur’an, dan para Ulama di bidang Agama didirikan perpustakaan yang di beri nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
v  Bagdad sebagai pusat peradaban islam.
Kota Bagdad sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat aktifitas pengembangan ilmu antara lain Baitul Hikmah. Sebagai ibu kota Bagdad mencapai puncaknya pada masa Harun Ar-Rasyid walaupun kota tersebut belum 50 tahun di bangun. Kemegahan dan kemakmurn tercermin dalam istana khalifah yang luasnya sepertiga dari kota Bagdad yang berbentuk bundar dengan di lengkapi beberapa banguna sayap dan ruang audiensi yang di penuhi berbagai perlengkapan yang terindah, dengan demikian, dinasti Abbassiyyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan dapat di sebutka beberapa berikut:
a)      Bidang agama
Kemajuan di bidang agama antara lain dalambeberapa bidang ilmu yaitu ulumul qur’an, ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, bahasa dan fiqih.
1.      Fiqh
Pada dinasti Abbasiyah lahir para tokoh bidang fiqh dan pendiri mazhab antara lain sebagai berikut:
1)      Imam Abu Hanifah (700-767 M).
2)      Imam Malik (713-795 M).
3)      Imam Syafi’i (767-820 M).
4)      Imam Ahmad bin Hambal (780-855 M).
2.      Ilmu Tafsir
Perkembangan ilmu tafsir pada masa pemerintahan Abbasiyah mengalami kemajuan pesat. Di antara para ahli tafsir pada masa Dinasti Abbasiyah adalah:
1)      Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2)      Ibnu Athiyah Al- Andalusi.
3)      Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani.
3.      Ilmu Hadis
Diantara para ahli hadis pada masa Dinasti Abbasiyah adalah:
1)      Imam Bukhori (194-256 H), karyanya Shahih Al-Bukhori.
2)      Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Sahih Muslim.
3)      Ibnu Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.
4)      Abu Dawud, karyanya Sunan Abu Dawud.
5)      Imam An-Nasai, karyanya Sunan An-Nasai.
6)      Imam Baihaqi.
4.      Ilmu Kalam
Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, yang menghasilkan suatu kajian ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah:
1)      Imam Abu Hasan Al- Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi, tokoh Asy’ariyah.
2)      Washil bin Atha, Abu Huzail Al-Allaf (w. 849 M), tokoh Mu’tazilah.
3)      Al-Jubai.
5.      Ilmu Bahasa
Diantara ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’ dan arudh. Bahasa arab di jadikan sebagai ilmu pengetahuan disamping menjadi alat komunikasi antar bangsa. Di antara para ahli ilmu bahasa adalah:
1)      Imam Sibawaih (w. 183), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1000 halaman.
2)      Al-Kiasi.
3)      Abu Zakaria Al-Farra (w.208), kitab Nahwunya terdiri dari 6000 halaman lebih.

b)      Bidang Umum
Dalam bidang umum antara lain berkembang dalam bidang filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, kimia, sejarah dan sastra.[6] Para tokoh-tokohnya yang terkenal adalah sebagai berikut:

1)      Ilmu Filsafat
1.      Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2.      Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3.      Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H).
4.      Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H).
5.      Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain.
6.      Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain-lain.
7.      Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillh dan lain-lain
2)      Bidang Kedokteran
1.      Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
2.      Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai  penterjemah bahasa asing.
3.      Thabib bin Qurra (836-901 M)
4.      Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
3)      Bidang Matematika
1.      Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2.      Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
4)      Bidang Astronomi
1.      Al Farazi : pencipta Astro lobe
2.      Al Gattani/Al Betagnius
3.      Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4.      Al Farghoni atau Al Fragenius
5)      Bidang Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
c)      Bidang Ekonomi
1)      Perdagangan dan industri
Segala usaha di tempuh untuk memajukan perdagangan dengan memudahkan jalan-jalanya, seperti di bangun sumur dan tempat peristirahatan di jalan-jalan yang dilewati oleh kafilah dagang, dibangun armada-armada dagang, dan di bangun armada-armada untuk melindungi pantai negara dari serangan bajak laut. Serta membetuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi pasaran dagang, mengatur ukuran timbangan, menentukan harga pasaran (mengatur politik dagang) agar tidak terjadi penyelewengan.
2)      Pertanian dan perkebunan
Kota-kota administratif seperti Basrah, Khufah, Mosul, dan al-Wasit menjadi pusat usaha-usaha pengembangn pertanian dan rawa-rawa di sekitar Kuffah di keringkan dan di kembangkan menjadi kawasan pertanian  yang subur. Untuk menggarap daerah-daerah pertanian tersebut di datangkanlah buruh tani dalam jumlah yang besar dari Afrika Timur guna menciptakan ekonomi pertanian dan perkebunan yang intensif. Di samping itu usaha untuk mendorong kaum tani agar lebih intensif di lahkukan beberapa kebijakan antara lain:
Ø  Memperlakuhkan ahli zimmah dan nawaly dengan perlakuan yang baik dan adil, serta menjamin hak milik dan jiwa mereka.
Ø  Mengambil tindakan yang keras terhadap pejabat yang berlaku kejam terhadap petani.
Ø  Memperluas daerah pertanian dan membangun kanal-kanal dan bendungan baik besar maupun kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak ada irigasi.
3)      Pendapatan Negara
Selain dari sektor perdagangan, pertanian, dan perindustrian, sumber pendapatan negara juga berasal dari pajak. Pada masa Harun al-Rasyid, pemasukan pada sektor ini mencapai 272 juta dirham dan 4,5 juta dinar. Sementara pada masa al-Mu’tashim, pajak yang berhasil terkumpul meningkat sebesar 314.271.350 dirham dan 5.102.00 dinar. Pendapatan juga berasal dari jizyah, zakat, ‘asyur al tijarah, dan kharaj.

4)      Sistem Moneter
Sebagai alat tukar, para pelaku ekonomi menggunakan mata uang dinar (pedanag barat) dan dirham (pedagang timur). Penggunann dua mata uang ini menurut Azumardi Azra, memiliki dua konsekuensi. Pertama, mata uang dinar harus di perkenalkan di wilayah-wilayah yang selama ini hanya mengenal mata unag dirham. Kedua, dengan mengeluarkan banyak mata uang emas, mengurangi penyimpanan emas batangan  atau perhiasan sekaligus menjamin peredaran uang dengan kebutuhan pasar. Kebijakan di sektor ini adalah di ciptaknya sistem pembayaran dengan sistem cek agar memepermudah para kafilah-kailah dagang bertransaksi.[7]

D.    Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyyah
Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Adapun faktor internal, yaitu:

1) Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang persia. Persekutuan di latar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan pada masa bani Umayyah berkuasa (sama-sama tertindas). Pada masa ini persaingan antara bangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah di rasakan sejak awal khalifah Abbasiyah sendiri.

2) Kemerosotan ekonomi
Pada periode kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak, dan banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti.

3) Konflik keagamaan
Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme, Zoroasterisme, dan Mazzdakisme. Antara orang beriman dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya konflik Syiah dan Ahlussunnah. Terjadi Mihnah pada masa al-Ma’mun (813-833 M) yang menjadikan Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Negara. Al-Mutawakkil (847-861 M) menghapus Mu’tazilah digantikan dengan golongan Salaf pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap Mu’tazilah yang rasional, menyempitkan horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Buwaihi dan Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung al-Ghazali tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas entelektual Islam.

faktor eksternal kemunduran dinasti Bani Abbasiyah, yaitu:

1) Perang Salib
Perang antara umat Kristen dengan umat Islam yang berlangsung dari tahun 1095-1291 M, telah menelan banyak korban jiwa, ini menyebabkan khilafah Bani Abbasiyah menjadi lemah. Dalam kondisi demikian , mereka bukan menjadi bersatu tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Dinasti Abbasiyah di Baghdad.

2) Serangan Hulagu Khan
Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-serangan menuju Baghdad dengan mengalahkan Khurasan di Persia dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada tanggal 10 Februari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-Musta’shim (khalifah terakhir Bani Abbasiyyah), sehingga Baghdad dikepung dan dihancurkan.[8]
E.     Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyyah
Akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyyah ialah ketika Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Haluga Khan, 656H/1258M. Hulagu Khan adalah seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudara Mongkhe Khan yang menugaskanya untuk mengembalikan wilayah wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuanya. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Baghdad dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul dibaitul Hikmah dibakar dan dibuang disungai Tigris sehingga berubahlah warna air tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.
Dengan demikian, lenyaplah Dinasty Abbasiyyah yang telah memainkan peran penting dalam percaturan kebudayaan dan peradaban islam dengan gemilang.[9]








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Dinamakan khilafah bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Berdirinya Dinasti ini tidak terlepas dari keamburadulan Dinasti sebelumnya, yaitu dinasti Umaiyyah. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan umat Islam yang merupakan masa keemasan dan kejayaan dari peradaban umat Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi. Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa ini banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran yang telah mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya. Demikian juga dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu tashauf, yang juga melairkan tokoh-tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan dilakukan dimana-mana, baik pembangunan rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.
Namun diakhir pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyah, Islam mengalami keterpurukan yang sangat parah. Hal ini disebabkan dari serangan tentara Mongol yang telah mengahncurkan pusat peradaban Ummat Islam di Baghdad dan mengahancurkan Pusat ilmu pengetahuan yaitu Baitul Hikmah, yang berisi buku-buku karangan pakar ilmu ummat Islam yang tak ternilai harganya.





DAFTAR PUSTAKA
Amin Samsul Munir, Sejarah peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2010.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010.
Chamid Nur , Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Aqius Blog, Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah, http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-masa-daulah-bani-abbasiyah/, di akses 3 mei 2014, jam 13.00 WIB.
Bagek Polak. Makalah Bani Abbasuyah, http://bagekpolaknews.blogspot.com/2012/08/makalah-bani-abbasiyah.html. di akses 3 mei 2014, jam 12.30 WIB.




[1] Samsul Munir Amin, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2010). Hlm  138-140.
[2] Bagek Polak. Makalah Bani Abbasuyah, http://bagekpolaknews.blogspot.com/2012/08/makalah-bani-abbasiyah.html. di akses 3 mei 2014, jam 12.30 WIB.
[3]Samsul Munir Amin, op. cit., hlm. 141.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 52-53.
[5] Aqius Blog, Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah, http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-masa-daulah-bani-abbasiyah/, di akses 3 mei 2014, jam 13.00 WIB.
[6] Samsul Munir Amin, op. cit., hlm 148.
[7] Nur Chamid, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm, 123-135.
[8] Badri Yatim, loc. cit. Hlm 79-85.
[9] Samsul Munir Amin, loc. cit. Hlm 156.

0 comments:

Post a Comment